Ada pepatah yang bilang ‘Tak kenal maka tak sayang’, namun kelihatannya itu tidak berlaku di hidup saya, buktinya saya belom kenal sama kamu,
tapi udah sayang. Asik.
Ok, kita kenalan dulu…
Perkenalkan nama saya Anu, biasa dipanggil “Woi”. Jadi, kalo kalian di jalan dengar orang berteriak, “Woiii jangan lari loooh.” Nah, itu saya. Lagi dikejar-kejar warga. Maklum, selain hidup sebagai mahasiswa
teladan, saya juga punya pekerjaan sampingan sebagai perampok warung pinggir
jalan. Eits, jangan salah paham, sebenarnya saya ngerampok hanya untuk menyalurkan hobi kok. Bukan untuk membuat pemilik warung hidup melarat. Karena seburuk-buruknya perampok adalah perampok uang rakyat.
Saya adalah spesies makhluk hidup hasil dari kawin silang antara Jokowi
dan Dinosaurus, artinya, “Saya adalah orang yang akan menjadi pemimpin di masa depan dan tidak akan pernah melupakan sejarah.”
Oke. Itu bercanda. Kidding!!
Sebenarnya saya adalah anak yang dulu dilahirkan
secara paksa, karena ada sedikit
masalah di kandungan Mama.
Menurut cerita dari seorang tetangga bernama Ibu Sri—yang kebetulan waktu itu melihat proses kelahiran dari
awal hingga akhir—saya ini tua dalam kandungan. Jadi kebayang kan? Pas saya
lahir, udah kumisan gitu.
Oke, ini bercanda lagi…
Cerita sebenarnya begini, dahulu kala, di sebuah kampung kecil di tengah hutan belantara.
Tinggallah sepasang suami-istri yang hidup penuh tawa dengan cinta mereka yang gila. Berhari-hari, mereka menanti sosok buah hati yang akan membawa harapan untuk masa
depan yang lebih sejahtera. Lebih lanjut, menambah koleksi mereka di rumah.
(Terjadi sebuah perbincangan di suatu sore)
“Pa, kalo anak kita
laki-laki mau dikasih nama siapa?” tanya Mama ke Bapak dengan nada lemah, sambil mengelus-elus perutnya yang semakin
membesar setiap harinya.
“Hem, kalo laki, Bapak kasih nama ‘Dhaji Surjana’. Biar nanti di masa depan, anak kita ini
bakalan jadi sarjana, Ma.” Jawab Bapak dengan mantap, memperlihatkan rasa bangganya pada jagoan kecilnya
yang masih dalam perut itu.
“Kalo perempuan Pa?” Mama kembali bertanya.
“Siapa yah? Hem, kalo ‘Khindari Nara Tika’ gimana Ma?”
“Bagus Pa, emangnya artinya apa ya?”
“Gak ada artinya sih Ma, itu kan hanya plesetan dari kata ‘hindari narkotika’, hehe.” Jawab Bapak sambil tertawa memperlihatkan giginya yang sudah hilang satu.
“Hehe, lucu Pa. Semoga anak ini akan membawa harapan
untuk masa depan kita ya.” Mama tersenyum
tulus.
Saya yang
waktu itu mendengar perbincangan mereka dari dalam perut, sangat khawatir
sekali akan menjadi korban ejekan teman-teman karena nama yang aneh itu. Mulai saat itulah, saya memutuskan untuk tidak mau keluar dari perut Mama hingga usia kandungan itu memasuki bulan ke-13.
Sempat juga
terpikir untuk segera mengakhiri hidup dalam kandungan dengan cara melilitkan
usus Mama saya ke leher. Namun
hal itu urung saya lakukan, sebab dalam rahim saya mendengar bisikan dari malaikat, “Jangan bro!
Jangan bunuh diri dulu! Di dunia, masih banyak hal yang bisa lo lakukan, misal nyari gebetan atau gangguin istri orang.” Bisikan itu akhirnya memberikan saya pencerahan. Menjadi
bahan renungan sepanjang waktu.
~ ~ ~
Waktu terus berlalu, hari berganti hari, bulan pun datang bulan. Perut Mama saya terus memperlihatkan tanda-tanda
kebesaran Tuhan, sampai saat di mana semua mata tetangga tertuju ke perut Mama saya.
“Bu Mince, kok belum melahirkan? Bukannya ini sudah bulan ke-13 yah?” tanya Bu Sri memasang wajah keheranan.
“Iya nie Buu, saya sendiri juga heran. Kok belum keluar juga yah? Berasa apa-apa juga
enggak.” Jawab Mama tak kalah heran.
“Coba periksa ke puskesmas aja Bu, takutnya
ada masalah dengan kandungan Ibu.” Bu Sri memberi saran.
“Maunya sih begitu, tapi gak
punya duit Bu.”
“Oh kalo gitu, nanti saya panggilkan Mbah Sumi
aja gimana? Itu loh dukun
beranak yang tinggal di kampung sebelah. Untuk masalah ongkos Bu Mince tenang
saja, aku kenal baik sama si Mbah. Ntar saya urusi semua besok sore ya.”
“Wah,
jadi gak enak nie Bu, merepotkan.”
“Ah, gak apa-apa kok, sudah semestinya kita saling
membantu.”
~ ~ ~
Keesokan harinya, sekitar pukul empat sore, Bu Sri datang ke rumah membawa sesosok makhluk aneh, mengerikan.
“Bu Sri, itu apa?” Mama kaget mendapati sosok
berjubah hitam dengan dandanan ala Ki Joko Bodo itu.
“Oh, ini yang namanya Mbah Sumi.”
“Eh, maap, maap, saya pikir tadi ... mmmm, mari-mari
duduk. Silahkan!” ucap Mama
mempersilahkan mereka duduk.
“Oh ya Bu, gimana kandungannya, udah ada perubahan?” tanya Bu Sri mencoba membuka obrolan.
“Belom ada apa-apa sih Bu. Gak berasa apa-apa
nih, nendang aja enggak.” Jawab Mama enteng.
“Hmmm,
aneh juga ya. Bu Mince ngidam apa sih?”
“Ngidamnya kalo bisa dibilang agak aneh si Bu, saya
hanya gak suka ngeliat muka suami saya
kalo tidur.”
“Loh, kok bisa Bu?” Bu Sri penasaran. Terpahat jelas kerutan tiga belas di
antara kedua alisnya.
“Muka suami saya jelek Buu.”
“Itu mah bukan ngidam Bu.”
“Hehehe, iya juga sih Bu. Oh ya, Ibu dan Mbah Sumi mau
minum apa? Biar saya siapin.”
“Aah, gak usah repot-repot Bu, yang ada aja.”
“Yang ada cuma air putih Bu. Ya udah, saya ambilkan dulu ya.” Mama kontan berdiri kemudian berlari kecil ke arah dapur. Bu Sri dan Mbah Sumi terdiam dan saling pandang mendengar tawaran yang diiringi senyum tulus itu.
~ ~ ~
Beberapa saat kemudian, terdengar suara gelas pecah
dari arah dapur. Sontak Bu Sri dan Mbah Sumi kaget, mereka bergegas menuju tempat kejadian perkara, ‘alah’. Tiba-tiba suasana berubah mencekam, suara teriakan Mama menggema ke penjuru kampung waktu itu.
“Haduh, haduuh, tolong Bu! TOLOOONG!”
“Kenapa Bu? Kenapa?” tanya Bu Sri panik.
“Perut saya sakit …”
“Sepertinya bayinya ngamuk.”
“ADUH ... ADUH.” Teriak Mama makin keras.
“Gimana
ini Mbah? Tolongin tetangga saya!” ujar Bu Sri double triple panik.
“Hem hem hem.” Gumam Mbah Sumi tenang seraya mengunyah daun sirih.
Bergegas Mbah
Sumi mempersiapkan segala alat yang diperlukan
untuk menjalankan aksinya; mulai dari
kembang tujuh rupa, ayam jantan hitam, hingga gadget buat update status, “Lagi ada pasien nih.”
Maap yang terakhir bercanda.
Saat itu, Mbah Sumi terlihat sangat berpengalaman, tenang, dan tak banyak bicara. Diam namun menyegerakan tindakan. Tidak seperti para pemimpin kita yang
banyak bicara, namun tak ada kerja nyata. Hem,
semoga saja orang seperti Mbah Sumi kelak bisa memimpin Indonesia.
Kenapa pembahasannya bisa jauh begini?
Ok, kita lanjut.
Mencoba menenangkan Mama saya yang merintih
kesakitan, Mbah Sumi dengan metode ala
Uya Kuya mencoba melancarkan aksinya. Untuk sebagian orang yang baru pertama
kali melihat aksi Mbah Sumi, pasti akan terheran-heran. Tapi bagi orang kampung kami, menerapkan aksi hipnotis untuk proses kelahiran
yang tidak lazim seperti itu hal biasa. Sebagai peringatan: “Jangan tiru adegan ini, karena hanya dilakukan oleh dukun beranak yang professional.”
“Bu, tatap mata saya, tarik napas lewat hidung,
keluarkan lewat mulut. Sekali lagi, tarik napas lewat hidung keluarkan lewat
mulut. Saat Ibu melihat api, Ibu akan
tertidur.”
Mbah Sumi menyalakan korek dan membakar bulu ayam
hitam yang dipegangnya. Bisa diduga, Mama
pun tertidur. Seperti itulah aksi Mbah Sumi dalam menangani kelahiran saya
waktu itu.
Saat Mama tertidur pulas, Mbah Sumi mencoba mengajak
saya ngobrol dari dalam perut. Sayang,
saya juga ikut tertidur. Hehehe.
“Ceritanya kok jadi aneh begini?”
Ok, cerita sebenarnya begini.
Saat Mama tertidur pulas, Mbah Sumi mencoba melontarkan beberapa pertanyaan sebelum saya dikeluarkan
secara paksa dari dalam perut.
“Untuk bayi yang ada dalam perut, katakan apa yang
ingin Anda katakan, tapi jangan katakan yang tidak ingin Anda
katakan. Mengerti?”
“.....” saya diam.
“Ok, sekarang katakan! Kenapa sudah 13 bulan dalam kandungan, Anda belum mau keluar juga?”
“.....” saya tetap diam.
Waktu itu, Mbah Sumi yang menangani Mama sempat
berputus asa. Entah kenapa kontak batin yang dia lakukan ke saya
tidak berfungsi dengan baik. Mungkin saja karena mantranya salah. Yang jelas, kala itu saya memilih diam dalam kandungan, ya kata orang “diam
itu emas”. Saya berharap ketika Mama melahirkan, yang keluar bukan saya, tapi emas batangan. #orangkaya
~ ~ ~
Singkat cerita, Mbah
Sumi nyaris habis
kesabaran. Lantas, dia langsung mengeluarkan keseluruhan
tenaga dalamnya untuk mengelurkan saya secara paksa. Cara terakhir yang dia
lakukan adalah dengan memberikan saya iming-iming.
Katanya kalo saya keluar sekarang, dia akan menjodohkan saya sama Syahrini. #ulala
“Hem, kamu keluar sekarang! Kalo tidak
keluar, saya
akan bakar Ibu kamu.” Sorak Mbah Sumi dengan
nada mengancam.
(Saya tendang perut Mama)
Duk! Artinya, saya gak takut.
“Belom mau juga? Ok,
kalo gitu, bagaimana kalo Mbah jodohkan kamu sama Syahrini?”
“Oe…oee…oeee...” tanpa
berpikir
panjang, saya langsung keluar sendiri dari dalam perut Mama. Itulah ekspresi bahagia
yang mengudara waktu itu. Artinya? “Saya
mau, saya mauu, saya mauuu.”
Dengan perasaan
bangga, Mbah Sumi mengangkat tubuh saya dengan kedua tangannya
macam baru
mendapatkan piala citra sebagai dukun beranak terbaik se-Indonesia. Bu Sri
tersenyum girang. Mama lalu pelan-pelan
membuka matanya setelah pengaruh hipnotis hilang dengan sendirinya.
“Bu, itu anak
saya?”
tanya Mama setengah sadar sambil menahan perih di daerah selangkangannya.
“Iya, Bu Mince.”
Jawab Bu Sri dengan mata berkaca-kaca. Mbah Sumi menyerahkan secara resmi tubuh
saya yang waktu itu masih berlumuran darah. Ia letakkan
di dadanya, kemudian dibalutnya dengan kain
sarung punya Bapak.
Tak lama, Bapak datang
dengan wajah seperti orang habis kalah judi.
“Maa, Bapak
pulang.”
Teriak Bapak dari arah pintu depan. Digantungnya senapan angin yang biasa dipakai
untuk berburu babi hutan. Beliau belum ‘ngeh', kalo di dapur
sedang terjadi hal yang mungkin tidak diduganya.
“Pak Dahlan, kami
di sini, di dapuur. Cepat sini!” sorak Bu
Sri.
Bapak segera melangkahkan
kakinya ke arah dapur; melihat istrinya terbaring lemah di atas
lantai.
“Kenapa ini Ma? Apa
yang terjadi? Kenapa banyak darah?” tanya Bapak cemas
melihat keadaan istrinya.
“Lihat ini Pa. Jagoan
kecil yang telah kaunantikan sejak lama.”
“Anakku? Benarkah
Ma?” reaksi
Bapak seperti tidak percaya.
Saat itu, hal yang
dilakukan Bapak pertama kali adalah menengok jenis kelamin saya. Entah sulit
menduga apakah kelamin jantan atau betina, alhasil Bapak memasang wajah
keheranan.
“Ma, kok kelaminnya
GAK ADA?” tanya Bapak mengerutkan dahinya. Heran.
“APAAAH?” semua orang
kaget. Mbah
Sumi dan Bu Sri tanpa izin, pingsan.
“Masa sih Pak?” Mama saya pun ikut meneliti. Benar saja, kelamin saya
terlihat samar-samar. Hanya seperti bongkahan upil yang menumpuk tidak
beraturan. Sudah pasti hal itu membuat semua orang keheranan. Bapak menduga
kalo saya adalah titisan dari dewa kelamin yang sengaja
diciptakan untuk menjadi pahlawan di tengah-tengah
penyimpangan seks anak remaja masa kini. Perihal kelamin ini pun sempat
menjadi bahan perbincangan orang-orang di kampung.
Pernah juga dinyatakan sebagai tujuh dari keajaiban dunia.
Bapak
sebagai kepala rumah tangga dibuat kebingungan menangkap keanehan yang terjadi. Urusan nama yang sejak awal
sudah disiapkan akhirnya dibatalkan. Dari hasil diskusinya dengan Mama, Bapak mengambil
kebijakan yang sudah dipikirnya matang-matang. Tercetuslah nama “Arief”
yang artinya “bijaksana” sebagai jalan tengah, agar tidak terjadi
perdebatan panjang antara sepasang suami-istri yang lagi
dimabuk cinta itu. DAN, untuk menghargai kelamin yang ajaib, Bapak akhirnya
memanggil saya dengan julukan si ‘anu’.
Itulah awal mula
lahirnya anak manusia yang akan menjadi pemimpin di masa
depan, yang akan berjuang menaklukkan dunia, dan
selalu peduli
terhadap kebaikan sesama.
---
Baca kisah selanjutnya di buku "Sarjana bodoh - Jeritan para pendamba toga" Dan jangan lupa, Add facebook saya yah "Arief Subekti boediman"